JAKARTA(ANC)-Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai sejumlah pasal dalam omnibus law RUU Cipta Kerja berpotensi membuat Indonesia menjadi pasar bebas pendidikan.
“Ada beberapa pasal terkait Pendidikan di RUU Ciptaker yang kontraproduktif dengan filosofi dan tujuan penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, (11/9/2020).
“Jika benar-benar diterapkan maka RUU Cipta Kerja kluster Pendidikan akan membawa Indonesia sebagai pasar bebas pendidikan,” lanjut dia.
Huda menjelaskan semangat yang dibawa RUU Cipta Kerja mengarah kepada liberalisasi Pendidikan. Sebab, peran negara dibuat seminimal mungkin dan dinilai menyerahkan penyelenggaraan Pendidikan kepada kekuatan pasar.
“Kondisi ini akan berdampak pada tersingkirnya lembaga-lembaga pendidikan berbasis tradisi seperti pesantren dan kian mahalnya biaya Pendidikan,” ungkap Huda.
Huda menyebut, terdapat sejumlah perubahan regulasi pendidikan dalam RUU Cipta Kerja, yakni meliputi penghapusan persyaratan pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia.
Kemudian, ada juga regulasi penghapusan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi, dan penghapusan kewajiban bagi perguruan tinggi asing untuk bekerja sama dengan perguruan tinggi nasional.
Selain itu, RUU Cipta Kerja klaster pendidikan juga menghapus sanksi pidana dan denda bagi satuan Pendidikan yang melakukan pelanggaran administratif.
Lebih lanjut, Huda mengatakan, ada regulasi yang tidak mewajibkan program studi untuk melakukan akreditasi, hingga dosen lulusan luar negeri tidak perlu lagi melakukan sertifikasi dosen.
“Beberapa pasal dalam RUU Cipta Kerja kluster pendidikan yang mengundang polemik dapat dilihat di Pasal 33 ayat 6 dan 7, Pasal 45 ayat 2, pasal 53, pasal 63, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 78, dan Pasal 90,” ungkap Politikus PKB ini.
Huda menilai dari berbagai aturan baru ini tampak nyata jika RUU Cipta Kerja memberikan karpet merah terhadap masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia serta kebebasan perguruan tinggi untuk memainkan besaran biaya kuliah.
Selain itu, kian longgarnya aturan sertifikasi, akreditasi, hingga penghapusan ancaman sanksi denda dan pidana akan berdampak pada pengabaian asas kesetaraan mutu dari perguruan tinggi.
“Khusus penghapusan sanksi pidana dan denda akan berdampak pada lemahnya penegakan hukum pada perguruan tinggi yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi,” kata Huda
“Bisa dibayangkan jika kondisi itu terjadi saat banyak perguruan tinggi asing banyak berdiri di sini. Mereka bisa leluasa melakukan pelanggaran administratif tanpa dibayangi sanksi pidana atau denda,” lanjut dia.
Huda berharap para anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang saat ini menggodok RUU Cipta Kerja benar-benar mencermati pasal-pasal yang mengatur tentang pendidikan.
Mereka diminta tidak ragu mengusulkan norma-norma baru atau memutuskan tetap pada regulasi awal jika dirasa pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja klaster pendidikan justru membahayakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
“Pendidikan di Indonesia dari dulu diarahkan pada pembentukan manusia seutuhnya yang seimbang antara skil dan akhlak,” ucap Huda.
“Jangan sampai hanya karena ingin anak-anak Indonesia bisa bersaing di dunia kerja, aspek pembentukan mental dan karakter diabaikan,” tutur dia.
Jika perlu, tegas Huda, Baleg DPR bisa mengeluarkan kluster Pendidikan dari pembahasan RUU Ciptaker. Menurutnya, saat ini Komisi X telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia.
Panja PJP ini, kata Huda, akan menginventarisasi berbagai persoalan Pendidikan terbaru dan upaya untuk menyesuaikan arah Pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan jaman.
“Hasil Panja PJP ini akan menjadi salah satu konten untuk melakukan revisi dari UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” ucap politisi PKB ini.
“Jadi kami rasa akan lebih komprehensif jika perbaikan regulasi Pendidikan kita dimuat dalam perbaikan UU Sistem Pendidikan Nasional tidak sekadar menjadi bagian kecil dari RUU Cipta kerja,” tutup dia.(SPNnews)